Introspeksi, Pintu Untuk Mengoreksi Diri










Di dalam kitab Shahih-nya, imam Bukhari membuka salah satu bab kitab ash-Shaum dengan perkataan Abu az-Zinad,
إن السنن ووجوه الحق لتأتي كثيرًا على خلاف الرأي
“Sesungguhnya mayoritas sunnah dan kebenaran bertentangan dengan pendapat pribadi” [HR. Bukhari].
Memang benar apa yang dikatakan beliau, betapa seringnya seseorang enggan menerima kebenaran karena bertentangan dengan pendapat dan tendensi pribadi. Bukankah dakwah tauhid yang ditawarkan nabi kepada kaum musyrikin, ditolak karena bertolak belakang dengan keinginan pribadi mereka, terutama tokoh-tokoh terpandang di kalangan kaum musyrikin?
Tidak jarang seseorang tidak mampu selamat dari hawa nafsu dan terbebas dari kekeliruan pendapat karena bersikukuh meyakini sesuatu dan tidak mau menerima koreksi. Hal ini tentu berbeda dengan kasus seorang mujtahid yang keliru dalam berijtihad. Ketika syari’at menerangkan bahwa seorang mujtahid yang keliru memperoleh pahala atas ijtihad yang dilakukannya, hal ini bukan berarti mendukung dirinya untuk menutup mata dari kesalahan ijtihad dan bersikukuh memegang pendapat jika telah nyata akan kekeliruannya. Betapa banyak ahli fikih yang berfatwa kemudian rujuk setelah meneliti ulang fatwanya dan melihat bahwa kebenaran berada pada pendapat pihak lain.
Kita bisa mengambil pelajaran dari penolakan para malaikat terhadap kalangan yang hendak datang ke al-Haudh (telaga rasulullah di hari kiamat). Mereka tidak bisa mendatangi al-Haudh dikarenakan dahulu di dunia, mereka termasuk kalangan yang bersikukuh untuk berpegang pada kekeliruan, kesalahan dan kesesatan, padahal kebenaran telah jelas di hadapan mereka. Hal ini ditunjukkan dalam hadits, ketika para malaikat memberikan alasan kepada nabi,
إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ، وَلَمْ يَزَالُوا يَرْجِعُونَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ، فَأَقُولُ: أَلَا سُحْقًا، سُحْقًا
“Mereka telah mengganti-ganti (ajaranmu) sepeninggalmu” maka kataku: “Menjauhlah sana… menjauhlah sana (kalau begitu)” [Shahih. HR. Ibnu Majah].
Kita dapat melihat bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan kecelakaan kepada mereka, karena enggan untuk melakukan introspeksi, enggan melakukan koreksi dengan menerima kebenaran yang ada di depan mata. Oleh karenanya, evaluasi diri merupakan perantara untuk muhasabah an-nafs, sedangkan koreksi diri merupakan hasil yang pengaruhnya ditandai dengan sikap rujuk dari kemaksiatan dan kekeliruan dalam suatu pendapat dan perbuatan.