Pak Marlen, sejak kecil dia hidup susah, namun tak pernah mengeluh. Dia membiayai sendiri sekolahnya dan untuk membayar kuliah dia bekerja sebagai petugas kebersihan di perusahaan properti. Siapa sangka, berkat kesabaran dan kerja kerasnya, Pak Marlan berhasil mencapai posisi manajer operasional.

Sekarang anak kampung itu mempunyai dua rumah mewah, dua mobil mahal, dan gaji besar. Namun, Pak Marlen tetap rendah hati. Kesabarannya juga ditunjukkan saat menerima perjodohan. Meski dia menyadari bahwa wanita yang dinikahinya memiliki sifat tinggi hati, suka menuntut, gemar berkata kasar, egois, dan selalu membanggakan dirinya yang keturunan ningrat.

Walaupun malu terhadap orangtua, keluarga, tetangga, dan rekan kerja, Pak Marlen tetap sabar dengan bersikap selalu mengalah kepada istri. Pak Marlen dan istri pun dikaruniai beberapa anak, namun kelakuan si istri masih saja kekanak-kanakan. Sebetulnya, Pak Marlen tidak keberatan dengan hobi istrinya yang senang berjalan-jalan ke luar negeri dan berbelanja, asalkan ada penghargaan terhadap dirinya.

“Cobalah hargai aku sebagai suami. Kalau tidak bisa, setidaknya hargailah aku sebagai manusia,” ujar Pak Marlen.
Si istri tak peduli. Dia tetap berfoya-foyà dengan kekayaan yang dimilikinya. Kesabaran suaminya diterjemahkan si istri sebagai kepasrahan. Hingga badai itu datang. Perusahaan properti tempat Pak Marlen bekerja harus merampingkan karyawan, dan Pak Marlen termasuk dalam daftarnya. Uang pesangon ratusan juta rupiah langsung diambil alih si istri. “Aku akan pakai untuk bisnis rumah makan. Kau santai saja di rumah!” ujar istrinya.

Singkat cerita, tanpa pengalaman dan persiapan, si istri terperangah melihat usahanya berantakan dan uang habis begitu saja. Tapi gengsi sering kali membuat orang gelap mata. Dengan sangat berani, si istri menjual salah satu rumah dan mobilnya untuk berbisnis konveksi. Dia tergiur dengan tawaran sahabatnya yang bermukim di Hongkong. Pak Marlen tak berdaya mencegah, dalam keadaan panik istrinya gampang gelap mata.
Hasilnya tak jauh berbeda, modal usaha konveksi terkuras tanpa hasil. Ternyata sahabat yang begitu balk saat di SMA, kini menjadi penipu ulung. Si istri stres berat dan jatuh sakit. Sekarang giliran Pak Marlen yang menjual rumah dan mobil yang tersisa, namun bukan untuk berbisnis, melainkan untuk mengobati penyakit istrinya. Meskipun hatinya terluka, pria itu masih bersedia menyelamatkan istrinya, orang yang menghancurkan hidupnya.

“Kini aku tidak punya apa-apa lagi,” ujar Pak Marlen pada suatu malam. Dia beserta istri dan anak-anaknya akhirnya mengontrak rumah petak yang sempit, sesak, dan panas. Tiap hari Pak Marlen menguras tenaga menjadi sopir bajaj. Hanya beberapa puluh ribu yang bisa dibawanya pulang. Semua anaknya yang sebelumnya belajar di sekolah terkenal dan mahal, dipindahkan ke sekolah yang lebih murah.

Namun, kesedihan justru tak tampak di wajahnya, Pak Marlen malah sering tersenyum. Bahkan dia semakin sering melucu dan tertawa lepas. Bukan, bukan karena dia menjadi gila, tapi karena dia merasa lebih bahagia. Mengapa dia bisa sebahagia itu? Kenapa tak ada beban di wajahnya?

Rupanya si istri telah insaf. “Aku minta maaf telah menghancurkan hidupmu. Aku yang bersalah. Sekarang, carilah wanita lain, nikahilah dia, supaya hidupmu bahagia!” ujar istrinya. Penyesalan itu tak hanya diucapkan sekali, tapi sudah tak terhitung keluar dan mulut si istri.
Pak Marten tidak marah, apalagi ingin membalas dendam. Dia menerima istrinya dengan hati lapang. Apalagi istrinya sudah berubah total, lebih taat beribadah, lebih santun, lebih peduli dengan keluarga. Bahkan keduanya menolak tawaran bantuan dan sanak saudara.

“Inilah kesempatan bagi kita untuk memperbaiki kekeliruan selama ini,” ujar Pak Marlen. Kondisi sulit menjadi pelajaran berharga bagi si istri. Dan di tengah keterpurukan itulah Pak Marlen justru merasa amat bahagia. Wajah murung yang selama ini menggelayut di mukanya hilang. “Kebahagiaan ternyata tidak berbanding lurus dengan banyaknya harta, Meski kini tak punya apa-apa, aku mempunyai keluarga yang bahagia,” ujar Pak Marlen.

“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadimusuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 64:14)