Hidayah



Abdul Wahid bercerita... Suatu ketika, ia bersama dengan rombongan berlayar mengarungi samudera lepas. Tampaknya cuaca sedang tidak bagus. Kapal itu terempas badai hingga terdampar di sebuah pulau. Di pulau itu ada seorang laki-laki tua penyembah berhala.

“Apa sebenarnya yang kausembah” tanya Abdul Wahid dan rombongan.

Laki-laki itu menunjuk ke arah berhala. “Sedangkan kalian ... Apa yang kalian sembah?” tanyanya.

“Kami menyembah Allah, Tuhan yang kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu, baik di langit maupun di bumi.”

“Apa bukti keberadaan Tuhan kalian?”

“Ia mengutus seorang rasul.”

“Di mana dia sekarang?”

“Sudah meninggal dunia.”

“Apa yang rasul itu bawa untuk membuktikan kcberadaan-Nya?”

“Rasul mendapat wahyu, sebuah kitab dari-Nya.”

“Perlihatkan kitab itu kepadaku?”

Mereka kemudian menunjukkan mushaf Al-Quran kepada laki-laki itu.

“Aku tidak pandai membaca. Bisakah kalian membacakannya untukku?”

Mereka pun membacakannya. Laki-laki tua itu menangis karena terharu mendengarnya

“Tuhan pemilik kalam seperti itu tidak boleh diingkari.”

Mereka kemudian memperkenalkan Islam lebih jauh lagi.

Suatu malam, saat mereka bersiap untuk beristirahat, laki-laki itu mendekat.

“Apakah Tuhan yang kalian sembah itu juga tidur?” tanyanya.

“Tidak. Tuhan kami Maha Hidup, tidak tidur, dan tidak membutuhkan apa pun.”

Mendengar jawaban demikian, laki-laki itu berkata dengan nada tinggi. “Alangkah buruk dan lemah hamba seperti kalian! Kalian tidur, sementara Tuhan kalian tidak pernah tidur!”

Sampai suatu ketika, Abdul Wahid dan rombongan berniat meninggalkan pulau. Mereka mengumpulkan uang dan barang-barang berharga untuk diberikan kepada lelaki itu. Namun, lelaki itu menolak. Ada yang diam-diam lebih ia kagumi dalam hati.

“Selama ini, aku menyembah berhala,” kata lelaki itu. “Dan, aku tidak pernah merasa disia-siakan. Lalu, bagaimana jika aku menyembah Tuhan yang kalian tunjukkan kepadaku, Tuhan Yang Maha Kuasa, yang kekuasaan-Nya meliputi langit dan bumi, tidak tidur, tidak lupa?!”

Ucapan-ucapan lelaki itu benar-benar menakjubkan, kata Abdul Wahid dan rombongannya. Ia sering mengucapkan kata-kata bijak. Belum sempat rombongan bersiap-siap berangkat, lelaki itu jatuh sakit. Mereka pun urung pergi demi menunggui lelaki itu. Mereka memutuskan berangkat jika lelaki itu telah sembuh.

“Apakah kau membutuhkan sesuatu?” tanya mereka.

“Tuhan yang kalian tunjukkan kepadaku telah memenuhi segala kebutuhanku,” jawabnya.

Akhirnya, lelaki itu meninggal dunia.

Malam hari setelah kematiannya, Abdul Wahid bermimpi melihat lelaki itu sedang duduk-duduk santai di taman surga, ditemani para bidadari. Lelaki itu berkata, “Selamat atas kesabaran kalian. Alangkah indahnya tempat kembali ini.”

Hati yang rindu tidak akan disia-siakan oleh Allah. Itulah hati yang mudah menerima hidayah. Dan, tidak mustahil, pemilik hati semacam itu akan memperoleh kemuliaan, melebihi orang-orang yang mengenal Islam lebih dulu.