HIdayah Alloh



Siang yang terik. Anak muda itu hendak pergi untuk mendapatkan pelajaran tambahan. Ketika melewati sebuah masjid, dia tertegun mendengar suara yang teramat merdu mengalun dan menyentuh jiwa. Dia menghentikan langkahnya sejenak, lalu duduk dan menyimaknya sampai selesai. Tak lama berselang, tampak orang berbondong-bondong menuju masjid.

“Hebat sekali seruan indah itu, dapat membuat orang berkumpul,” gumamnya takjub.

Esok hari dia sengaja datang lagi. Kali ini masih berseragam baju putih dan celana abu-abu. Sambil menikmati makanan dan minuman ringan, dia berhenti menyimak lantunan suara azan yang indah. Begitu pun
hari-hari berikutnya, bahkan dia jadi sering membolos demi mendengarkan azan.

Tiga bulan menjelang tamat SMA, pemuda itu menginap di rumah temannya yang berdampingan dengan Masjid Ganting. Di masjid tertua di kota Padang itu tengah berlangsung acara pengajian dan ceramah agama. “Menarik sekali,” anak muda itu membatin.

Sang penceramah menyampaikan materi akhlak mulia selaku muslim. Penjelasannya mengenai kesucian Agama, wudhu, shalat, serta larangan bergunjing. Malam itu, acara bertamu berubah menjadi kegiatan mendengarkan wirid.

Nama aslinya Chia Ho Gie, lahir 25 Desember 1960 di Padang. Dia keturunan Cina yang lama menetap di Ranah Minang. Orangtuanya tergolong mampu, sehari-hari mereka membuka toko yang menjual kebutuhan harian.

Pengalaman rohani yang menyejukkan telah membuka mata batinnya lebar-lebar. Suara azan merupakan panggilan suci Ilahi menuju hidayah-Nya. Setamat SMA, niat tulusnya untuk memeluk Islam diutarakan terus terang kepada orangtuanya.

Keluarga langsung berang, terutama kakak-kakak Chia Ho Gie. Mereka mulai benci dan gencar melakukan intimidasi. Ketegangan muncul dalam situasi yang kian memanas. Bahkan sang kakek berkata sinis, “Ngapain lu masuk Islam, mau shalat? Orang Islam saja belum tentu mengerjakannya.”

Ayah Chia Ho Gie sendiri punya sikap yang lebih terbuka, “Pikirlah lagi masak-masak, kewajiban shalat lima kali sehari itu berat sekali. Percuma saja masuk Islam kalau tidak shalat.”

Namun, hati Chia Ho Gie telanjur terpesona dengan risalah tauhid. Dia siap menjalani kehidupan baru sebagai muslim yang baik. Demi mencegah munculnya hal yang tak diinginkan dalam keluarga, sang ayah memberikan solusi, “Pindah agama itu hakmu, tapi jangan di Padang. Pergilah ke Jawa. Dan kalau kau jadi memeluk Islam, tolong jangan hina agama lain.”

Perpisahan itu memang harus terjadi. Keyakinan membuatnya tegar menempuh jalan hidup baru. Tamat SMA tahun 1981, dia langsung merantau ke Jakarta. Ayahnya memberikan uang saku 300 ribu rupiah. Dana itu habis untuk biaya hidup sehari-hari, namun niat memeluk Islam belum juga kesampaian. Dia berencana menghadap Buya Hamka untuk bersyahadat. Sayang ulama terkenal itu sedang sakit keras. Keinginannya memeluk agama Islam jadi tertunda-tunda hingga akhirnya Hamka meninggal dunia.

Untuk sementara waktu dia pun menjadi pengelana di ibu kota. Godaan pergaulan bebas dan obat-obat terlarang sangat kuat. Hanya tekad bulat yang membuat dirinya kuat menahan godaan. Demi menyambung hidup, dia pun menjadi pengamen.

Sebelumnya Chia Ho Gie sudah mempelajari agama-agama lain. Tapi dia tidak suka karena tidak masuk akal dan tidak menyentuh jiwanya. Hingga perjalanan nasib mengantar sang pencari hidayah ke Tanjung Priuk. Pergaulannya semakin intens bersama komunitas Islam. Kemudian, atas kuasa Allah, Chia Ho Gie mengikrarkan syahadat di Masjid Jami’ Al Fudollah pada tahun 1982.

Belum lama menikmati masa-masa indah sebagai mualaf, Chia Ho Gie menghadapi ujian. Malam itu terdengar rentetan tembakan, kerusuhan Tanjung Priuk meledak. Pemerintah Orde Baru mengirimkan pasukan tentara yang melakukan aksi kekerasan. Chia Ho Gie lari menyelamatkan diri, namun dia tersangkut di kawat berduri. Tubuhnya terluka dan harus dijahit.

Tiga bulan sesudahnya dia tidak berani keluar rumah. Dia takut bertemu aparat, trauma mengingat banyaknya korban yang berjatuhan saat bentrokan terjadi. Kegamangan mulai melanda jiwanya. Dia menjadi heran, kenapa umat Islam diperlakukan demikian keras?

Syukurlah Chia Ho Gie belajar Islam dengan seorang habib yang membesarkan hatinya, menumbuhkan ghiroh yang kuat dan memberikan motivasi. Kegamangan yang sempat membersit terpupus habis. Bukankah kebenaran tidak akan sepi dari cobaan?!

Setelah resmi memeluk Islam, dia paling suka menjadi muazin. Ke mana pun melalang buana, dia selalu bermukim di rumah Allah. jemaah masjid pun akan dengan senang hati mempersilakannya melantunkan panggilan shalat.

“Sebaik-baiknya menjadi seorang ustadz, Iebih mulia menjadi muazin yang memanggil orang shalat. Suaramu bagus!” kata Habib.

Lama bermukim di Jakarta memberi Chia Ho Gie kesempatan mendengarkan ceramah dari ustaz-ustaz kondang. Salah satunya Zainuddin M.Z. Ke mana saja dia berceramah, Chia Ho Gie pasti hadir.

Negeri rantau pula yang mengantar Chia Ho Gie merasakan kisah cinta. Adalah seorang sahabat Chia Ho Gie yang memperkenalkan adiknya, gadis belia yang sedang dimabuk asmara dengan seorang pacar baru. Si kakak khawatir dengan pola hubungan tidak sehat yang ditunjukkan si adik dan pacarnya. Karena itu, si kakak memperkenalkan adiknya dengan Chia Ho Gie yang diketahui akhlaknya lebih baik dan bertanggung jawab.

Namanya saja orang sedang dimabuk asmara, si adik tidak sudi menerima Chia Ho Gie. Si gadis bersama pacarnya malah melecehkan Chia Ho Gie, bahkan meludahinya. Chia Ho Gie terkejut melihat perangai buruk itu, rupanya cinta buta telah membuat seorang gadis baik-baik menjadi jahat.

Kakaknya meminta maaf, namun Chia Ho Gie justru berkata, “Saya ikhlas dipermalukan di depan umum, Cuma anehnya saya kok menjadi yakin kalau dia adalah jodohku, Saya tidak dendam atau benci. umurnya sangat belia, baru sembilan belas tahun, wajar bila emosional, Lagi pula sikapnya itu dipengaruhi pergaulan yang keliru.”

Chia Ho Gie pun mendekati si adik dan menasihatinya.  “Menikahlah dengan Abang. Sebab Abang yakin mampu mendidik Adik baik kembali,” ujarnya suatu saat.

Penolakan demi penolakan diterimanya dengan lapang dada. “Pikirkanlah lagi baik-baik. Pernikahan adalah ibadah yang mengantarkan kita ke surga Allah,” pintanya lagi.

“Abang jangan coba-coba pakai dukun!” ancam si adik.

“Tidak, Allah yang akan pertemukan kita.”

Sekeras-kerasnya karang pasti akan hancur kena deburan ombak, sekeras-keras hati wanita pasti luluh dengan kelembutan dan kesabaran. Mata batin gadis itu perlahan-lahan terbuka, permainan cinta yang tak sehat bersama pacarnya segera diputuskannya. Dia melihat keikhlasan Chia Ho Gte yang sungguh-sungguh ingin mengajaknya ke jalan kebaikan. Mereka pun akhirnya melangkah ke pelaminan.

Setelah menikah, adik sahabatnya itu menjadi istri yang baik. Bahkan dia menerima kondisi ekonomi Chia Ho Gie yang pas-pasan. Ternyata pernikahan mampu mengubah kepribadian seseorang.

Allah memberikan Chia Ho Gie dua anak yang manis. Berhubung kondisi ekonomi masih morat-marit, anak dan istrinya dititipkan kepada mertua di kampung. Sementara itu, Chia Ho Gie mencari penghidupan di kota Jakarta.

Kehidupan bersahaja dijalaninya setiap hari. Usai Subuh, Chia Ho Gie berangkat ke pasar menjadi kuli angkat sayuran. Hasilnya cukup untuk membeli makan satu kali. Siang hari dia berkeliling, menjajakan minuman dan obat dari pintu ke pintu. Semua dilakukannya dengan senang hati.

Ke mana pun berkelana, Chia Ho Gie tetap shalat berjamaah sekaligus bermalam di masjid. Dalam rangka usaha memperbaiki ekonomi, dia sempat pula bekerja di Kajang, Malaysia. Di negeri seberang dia berjualan sayur yang lumayan laris dengan basil memuaskan. Sayang, karena terlalu sibuk dia sulit melaksanakan shalat berjama’ah, kecuali Subuh dan Isya. Dari pada kehilangan Tuhan, Chia Ho Gie pun memilih berhenti saja.

Suatu saat saudara Chia Ho Gie yang pebisnis di Singapura menjanjikan akan memberikan modal besar. Syaratnya sederhana, asalkan Chia Ho Gie menanggalkan peci alias berganti agama. Jelas Chia Ho Gie menolak. Lebih baik hidup sederhana penuh syukur dan damai daripada bergelimang kemewahan tapi selalu gelisah karena kehilangan Aqidah.

Chia Ho Gie pun diusir oleh kakak-kakaknya. Meskipun begitu, dia tidak benci dilecehkan. Dia beranggapan saudara-saudaranya bersikap demikian karena belum mendapatkan hidayah. Sebenarnya Chia Ho Gie punya saudara kembar. Biasanya anak kembar punya hubungan batin yang erat, tapi saudara kembarnya juga tak kunjung mendapatkan hidayah.

Chia Ho Gie memutuskan pulang ke Padang, memboyong keyakinan baru yang semakin kuat. Sampai di Ranah Minang, dia memperbarui surat bukti diri sebagai mualaf dengan mendatangi pengurus sebuah masjid besar. Ternyata dia malah dimintai uang.

Chia Ho Gie langsung nelangsa. Jangankan uang untuk membayar surat tanda mualaf, untuk makan saja dia harus bekerja jungkir balik. Chia Ho Gie tak patah semangat. Dia pun pergi ke Departemen Agama dan berhasil mendapatkan surat keterangan secara cuma-cuma. Alhamdulillah!

Belakangan Chia Ho Gie bertemu lagi dengan petugas masjid yang meminta uang bayaran. Pengurus itu minta maaf atas kekhilafannya. “Saya sudah memaafkan Bapak sejak awal,” ujar Chia Ho Gie dengan tersenyum.

Hingga sekarang Chia Ho Gie masih mengembara menjelajahi bumi Allah. Tidak pernah dia khawatir kelaparan, dia juga tidak takut telantar atau terlunta-lunta. Baginya semua umat Islam adalah saudara tempat berbagi dan saling menolong. Ke mana pergi dia selalu menetap di masjid yang begitu damai dan menyejukkan.

Tiada yang merisaukan hatinya dalam mengarungi hidup di dunia. Kalaupun ada masalah, dia cukup memohon kepada Allah agar diberikan jalan. Chia Ho Gie memang paling senang melakukan shalat Tahajud dan dhuha.

“Sesusah apa pun kehidupan, Allah pasti tidak akan
meninggalkan hamba-Nya,” ujarnya yakin. Dan kakinya pun
terus melangkah....