Belajar Dari Seorang Yang Buta Huruf



Seringkali kita silau melihat orang lain dengan status sosial yang tinggi, terkenal, kaya raya, sukses diberbagai bidang usaha, sehingga kadang tanpa sadar kita nyaris mengkopi paste semua gaya kehidupannya.

padahal tidak sedikit orang yang bersatus sosial rendah, miskin, gak dikenal banyak orang, justru memiliki lautan ilmu yang membuat kita terbelalak ketika dia menyampaikan RASA atas segala amal shaleh yang telah dia laksanakan.

Kisah kali ini, menginspirasi kita agar semakin dekat dengan orang-orang yang lemah disekitar kita dan tidak meremehkan mereka.

Seorang cendikiawan yang sedang melakukan perjalanan, duduk di sebuah padang rumput untuk melepas lelah. Ternyata, dia tidak sendiri. Di padang rumput itu, ada juga seorang penggembala yang sedang menggembalakan domba-dombanya. Mereka pun terlibat perbincangan.

“Apakah ini domba-dombamu?” tanya cendekiawan.

“Bukan. Domba-domba ini adalah milik seorang saudagar kaya. Aku hanyalah buruh yang bertugas untuk menggembalakannya setiap hari,” jawab si penggembala.

“Apakah hanya itu keahlianmu? Menjadi seorang penggembala? Tidakkah kau ingin pekerjaan yang lain?”

Penampilan yang bersih dan tutur kata yang sopan membuat si cendekiawan penasaran kepada si penggembala.

“Ya, Tuan. Hanya inilah keahlianku. Aku buta huruf. Jadi, apa lagi yang bisa kukerjakan. Lagi pula, dengan menjadi seorang penggembala pun semua kebutuhan keluargaku sudah tercukupi.”

“Buta huruf? Lantas mengapa kau tidak belajar?” cendekiawan terkejut. Dia tidak menyangka kalau penggembala itu buta huruf.

“Aku telah mendapatkan sari dari semua ilmu. Karena itu, aku merasa tidak perlu belajar lagi,” jawab penggembala mantap.

sombong sekali orang miskin ini. Begitu pikir sang cendekiawan.

“Coba jelaskan apa saja yang sudah kauperoleh,” pintanya.

“Sari semua ilmu pengetahuan ada lima :

  • Pertama, selagi masih ada peluang untuk bersikap jujur, aku tidak akan berbohong.
  • Kedua, selama masih ada makanan halal, aku tidak akan memakan makanan haram.
  • Ketiga, jika masih ada celah (kekurangan) dalam diriku, aku tidak akan mencari-cari atau mempersalahkan keburukan orang lain.
  • Keempat, selagi rezeki Allah Swt. Masih ada di bumi, aku tidak akan memintanya kepada orang lain.
  • Kelima, sebelum menginjakkan kaki di surga, aku tidak akan melupakan tipu daya Iblis,” jelas si penggembala dengan yakin.

Cendekiawan itu sangat kagum mendengar jawaban tersebut. Dia benar-benar tidak menyangka bisa mendengar penjelasan tersebut dari seorang penggembala miskin yang buta huruf.

Sambil berpamitan, cendekiawan pun berkata, “Kawan, semua ilmu telah terkumpul dalam dirimu. Siapa pun yang mengetahui kelima hal yang kau sebutkan tadi dan dapat melaksanakannya, pasti dapat mencapai tujuan ilmu-ilmu Islam serta tidak memerlukan buku-buku ilmu dan filsafat.”

Sahabat, tidak sedikit Pemimpin yang arif lahir dari kaum yang lemah, lahirnya Generasi Pemimpin yang siap melayani dan mencerahkan Ummat.