Bandros Bumbu Sabar



Pagi ini dua halaqoh TTM (Teman Tahfidz Multimedia) SAI Homeschooling  melantunkan hafalannya sambil jalan pagi. Pertama, muroja'ah dan disetorkan kepada temannya saling bergantian dan final disetorkan kepada Ammah yang menanggungjawabi halaqoh tersebut.
Di awal perjalanan, kami tidak merasakan sesuatu yang beda di pagi ini. Sepanjang jalan kami lalui suasana pagi dengan seperti biasa.
Air embun pagi yang menyapa di atas dedaunan pun kami lalui, dengan tirai ranting pohon di sela hutan kecil tempat kami beristirahat sejenak.
Terus menelusuri jalan sempit sampai tiba di jalan aspal perumahan Kotabaru.
Hafalanpun terus dilantunkan, sampai tersisa 2 orang lagi yang belum menyetor penggalan surat Al-Baqorohnya.
"Amah, ada yang jualan bandros tuh". Teriak satu anak dengan gaya nyengirnya.
"Iya, bandros. Terus kenapa?" Jawab saya yang pura-pura sibuk menyimak hafalan surat Al-Baqoroh. Perhatian sayapun terhenti di ayat 214. Hilang perhatian, saya langsung melirik arti ayat tersebut. Sudah menjadi skenario Allah, perhatian saya terhenti di arti surat yang menjelaskan tentang adanya cobaan , kemelaratan,  atau hal lainnya namun langsung diakhiri dengan pernyataan:
الآان نصرالله قريب.
(Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat)
Tidak ada ayat Allah yang tak bermakna. Mungkin di detik ketika saya baca ayat ini tidak ada hal yang "aneh" atau terbilang sangat bermakna. dan berlalu begitu saja.

"Yuk samperin tukang bandrosnya" ajak saya dengan memberi aba-aba menyebrang.
Mobil motor di pagi itu mulai berlalu lalang. Dedaunan yang berembun sudah memantulkan sinar emas matahari di pagi itu.
Kami menghampiri tukang bandros di tengah ramainya orang sekitar nge-gas kendaraan pribadinya.
"Pak, beli yaa. Bungkusnya masing-masing". kata pengantar untuk mengawali jual beli bandros dengan penjual si Bapak renta.
Dari awal, kami memerhatikan apa yang ada di diri bapak tua ini. Dari mulai bandros yang mengeluarkan aroma sedapnya, pun tempat dagangan yang bapak gunakan.
Sambil menikmati bandros yang sudah matang, saya iseng bertanya ke bapaknya.
"Pak, asalnya darimana?". Penggalan awal dari pertanyaan-pertanyaan yang kemudian saya lontarkan selanjutnya. Dan, tanya jawab antar Bapak-kami pun berlangsung.
"Saya asli orang Perum Kotabaru, tuh rumah saya tinggal nyebrang". Jawab pak penjual bandros dengan mulut yang sudah agak kaku, berbalut kerutan layu di kulit pipinya sambil menajamkan telunjuk ke arah seberang jalan. Di sana ada gang kecil, yang hanya muat sepeda motor saja.
Untuk menghangatkan suasana lagi, anak-anak bertanya hal lainnya.
"Bapak tinggal sama siapa?" Tanya Aisyah, sambil mengunyah bandros hangat di mulutnya.
"Bapak tinggal sama istri, gak punya anak, gak punya sodara, apalagi orang tua. Semuanya sudah tidak ada. Dan yang tersisa hanya saya dan istri". Jawab pak penjual bandros itu dengan cukup rinci.
"jadi hanya berdua? Lebaran gak pernah mudik? Istrinya di rumah aja?" Lanjut Irham dengan nada kepo nya.
"Iya, karena istri bapak memiliki kekurangan fisik. Sehingga dia tidak mampu ke mana-mana. Hanya bisa melakukan pekerjaan rumah saja. Dengan badannya yang bongkok, dan penglihatan dia yang tidak normal. Dia tidak mampu melihat orang di sekitarnya dengan kentara. Tapi, dia mampu membaca Al-Quran dan deretan huruf serta tajwid yang benar. DIA MAMPU MEMBACA AL-QURAN DENGAN BAIK".
Sontak nafas sayapun langsung tersendat, kami saling lirik dan seketika hening. Hanya satu suara motor mūelintas yang kami dengar. Ada satu anak yang matanya sudah mulai membengkak menahan kantung air matanya, menjadi manusia yang bernaluri pastilah tersentuh.
"Bapak ko sabar?". Pertanyaan polos dari seorang Khofi dengan  gaya menggerakkan kacamata sambil
 mengangkat hidungnya.
"Sudah tanggung jawabnya, dalam keadaan susah atau senangpun kita dituntut harus bersabar. Apalagi bapak, kalau tidak jualan bandros bapak dan istri gak bisa makan". Jawab singkat pak penjual bandros sambil menuangkan adonan bandros di atas cetakannya.

Sahabat, banyak hikmah yang didapat dari kisah perjalanan hidup bapak renta tukang bandros ini. Dari mulai kesabarannya mendampingi istrinya yang memiliki kekurangan, tetap setia menjaga dan bertanggungjawab atasnya. Juga, istrinya yang kurang mampu melihat dengan jelas, tapi mampu membaca Al-Quran dengan baik dan selalu mendawamkannya.
Banyak hikmah lainnya juga yang bisa kita jadikan Ibrah, tentang makna perluasan kesabaran dalam hati, kesetiaan terhadap tanggung jawab, bahkan bekerja keras untuk tetap menjadi seorang hamba yang terus menanam ikhtiar dalam hidup.
Kalau boleh mendahului akal, mungkin ada korelasinya antara ayat Al-Baqoroh 214 dengan kisah bapak renta penjual bandros ini.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan pahala dahsyat-Nya bagi mereka yang mampu meneguhkan kesabaran di hati.
Dan yakin akan dekatnya pertolongan Allah.