Dunia Di Tanganku, Akhirat Di Hatiku







Ibnu Qayyim berkata: “Semakin manusia cinta terhadap dunia maka semakin malas dari ketaatan dan amal untuk akherat sesuai dengan kadarnya”. (Al Fawaid)
Kewajiban bagi setiap hamba yang ingin menyuburkan imannya untuk melawan nafsunya agar tidak tertipu dengan godaan dunia yang sangat banyak sekali.
Dan hal itu terwujudkan dengan dua hal:
Pertama: Memahami bahwa dunia ini finisnya adalah fana dan kehancuran
Sebenarnya memiliki harta dan tahta tidaklah tercela selagi harta di tangan dan akherat di hati, menjauhi sifat serakah, mencarinya dengan benar, menunaikan hak-haknya, membelanjakan pada tempatnya dan tidak melampui batas atau sombong karenanya.
Wahai manusia, ingatlah bahwa dunia yang kalian tekuni mati-matian, karier yang kalian kejar, ketenaran yang kalian impikan dan idam-idamkan, semuanya pasti berakhir dengan kepunahan dan kematian. Apapun yang ada di dunia ini pasti akan sirna.
Sesungguhnya apa yang dimakan anak Adam dibuat permisalan untuk dunia. Sekalipun ia telah membumbuinya dan menggaraminya dengan lezat, perhatikanlah hasil akhirnya makanan itu juga apa.” | riwayat Ahmad, Ibnu Hibban
Nabi ﷺ juga bersabda: “Apa peduliku dengan dunia. Tidaklah aku di dunia melainkan seperti seorang pengembara yang berteduh di bawah pohon, kemudian dia akan pergi meninggalkan pohon tersebut.” | riwayat Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah

Kedua: Menyongsong kehidupan akherat yang penuh nikmat nan abadi.
Allah banyak menyebutkan dalam al-Qur’an bahwa dunia ini sangatlah hina dan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan akherat, maka jadikanlah akherat di hatimu dan tambatan hatimu selalu, adapun dunia cukuplah dalam genggamanmu!!
Bahkan kamu memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. | surah al-A’la, 87: 16-17

Rasulullah ﷺ juga bersabda: “Demi Allah, dunia dibandingkan akhirat tidak lain adalah seperti salah seorang yang mencelupkan jari tangannya ke lautan, maka hendaklah dia melihat apa yang didapat pada jari tangannya setelah ditarik kembali.”
Maka tanyakanlah pada dirimu: Pantaskah bagi orang yang berakal untuk mendahulukan yang fana dan hina tetapi justru melalaikan yang abadi dan penuh kenikmatan?