Inspirasi dari Seorang Janda Tua



Tiba-tiba saja harga cabai lebih pedas daripada pedasnya cabai itu sendiri. Coba bayangkan! Harga cabai melambung menjadi 100 ribu rupiah per kilogram, bahkan lebih. Sedangkan harga daging cuma 60 ribu rupiah per kilogram. Betul-betul harga yang tidak waras!

Anehnya, harga yang terlalu mahal tidak menyurutkan semangat ibu-ibu membeli cabai. Seolah-olah cabai merupakan makanan pokok. Suami istri tidak lagi bertengkar karena pasangan selingkuh. Suami marah karena masakan kurang pedas, sedangkan istri marah dengan uang belanja yang tak cukup untuk sekadar membeli cabai. Ibu-ibu mendadak berhenti mempergunjingkan tetangga. Tema obrolan mereka beralih ke masalah harga cabai. Lucunya, walaupun dibenci, cabai masih saja dicari. Walaupun mereka harus berutang sekalipun.

Berbagai keganjilan pun bermunculan terkait meroketnya harga cabai. Biasanya bos-bos besar yang menyewa jasa pengawal. Kini, petani-petani pun menyewa jagoan guna menjaga ladang cabai mereka. Bahkan sebuah televisi swasta memberitakan ada seorang remaja yang diterjang peluru senapan angin gara-gara mencuri di ladang cabai. Miris juga mendengar berita itu, karena seorang bocah lugu berani bertaruh nyawa demi mendapatkan cabai untuk periuk ibunya.

Kekonyolan juga terjadi. Muncul seseorang yang bangga dengan cabai yang terselip di giginya. Padahal biasanya orang sangat malu bila di giginya ada cabai. Entahlah! Cabai sudah membuat orang hilang kewarasan. Masyarakat lebih panik dengan teror cabai dibandingkan dengan teroris. Rapat-rapat kabinet juga dipusingkan oleh pedasnya harga cabai.

Namun, siapa sangka. Di antara orang-orang yang bingung dengan harga cabai, ada seorang wanita tua yang punya teori sederhana, tapi membuat pikirannya tenang.

Ibu tua itu adalah seorang janda yang tinggal di rumah gubuk yang menumpang di sebuah kebun bersama empat anak perempuannya. Saat ditanya komentarnya tentang harga cabai yang memusingkan rakyat jelata hingga pejabat negara, jawabannya mencengangkan seorang wartawan yang terbiasa mendengar omongan para ahli ekonomi.

“Bagi saya gampang-gampang saja! Kurangi saja memakai barang yang mahal. Kalau harga cabai mahal, kurangi saja pemakaian cabai dan bila perlu tidak usah memakainya,” ujarnya kalem.

Lho kok begitu? Teori ekonomi macam apa itu?

Ibu tua yang hanya tamat sekolah dasar itu melanjutkan, “Bagi saya yang penting hidup ini tenang. Buat apa saya memaksakan diri makan cabai, tapi kepala dibuat pusing. Biar saja masakan kurang pedas, asalkan pikiran saya damai. Lebih baik kurang makan cabai daripada hilang kebahagiaan.”

Orang-orang tersentuh mendengar prinsip hidup wanita itu. Dia bersama empat anak perempuannya tampak sangat menikmati hidup. Tidak ada kemelut dunia yang merisaukan mereka. Saking bahagianya, mereka tidak sempat lagi memikirkan hal-hal yang membuat mereka menderita.

Lalu orang-orang pun terpana melihat ibu tua itu mulai menanam cabai di depan gubuknya. Orang-orang pun bertanya, “Apakah ini cara Ibu dalam menghadapi harga cabai yang meroket?”

Ibu tua itu tersenyum, “Hmm... tidak juga. Kami amat bersyukur. Karena harga cabai naik, kami jadi tahu cara bertanam cabai. ini hikmah dari kenaikan harga cabai yang terjadi sekarang.”

Ternyata kesulitan justru menjadi jalan bagi mereka untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Ah, siapa sangka seorang ibu tua mampu menciptakan teori ekonomi sendiri demi kebahagiaan diri dan keluarganya.